Minggu lalu grup-grup whatsapp heboh dengan sebuah video. Ada sekelompok musisi Norwegia yang dipimpin oleh Audun Kvitlan meluncurkan videoklip berjudulkan "Nasi Padang". Meskipun memiliki lirik yang agak konyol (Bila kau manusia aku akan menikahimu/ Aku menyukaimu seperti semua orang suka uang), namun nada lagu dan video nya dibuat dengan sangat serius. Di awal video Audun memperkenalkan dirinya dan mengatakan bahwa ia baru saja berlibur di Indonesia dan sejak punagn ke Norwegia tidak dapat melupakan nasi padang.
Kontan saja videoklip tersebut langsung menyebar melalui perangkat telepon genggam pintar kita. Melalui berbagai media sosial seperti Facebook, Whatsapp, Line, dan lain-lain. Tentunya disertai dengan komentar seperti "Heboh!! Bule Norwegia Bikin Lagu Nasi Padang". Namun sayangnya, kehebohan video tersebut hanya sampai disitu saja. Artinya kita cuma heboh dan bangga karena ternyata ada orang Eropa yang suka sekali dengan masakan kita. Saking cintanya hingga dia membuat lagu. Namun perbincangan saat membahas videoklip tersebut masih sebatas perasaan bangga saja. Belum ada yang membahas betapa besarnya peluang makanan Sumatera Barat di pasar internasional, karena ternyata sangat cocok dengan selera internasional.
Peluang Makanan Sumatera Barat di Pasar Internasional
Mengenai citarasa makanan Sumatera Barat yang disukai masyarakat Internasional sebenarnya bukan suatu hal yang aneh lagi. Karena selama ini sudah banyak contohnya. Jika ada turis internasional yang datang ke Sumatera Barat, rata-rata saat dibawa ke rumah makan Padang mereka suka dengan sajiannya. Paling-paling mereka agak kesulitan karena maan dengan tangan saja.
Central News Network (CNN), sebuah media berita internasional yang berbasis di Amerika juga sudah pernah merilis survey makanan terenak di dunia. Hasilnya, Rendang peringkat satu dunia, dan Nasi Goreng di peringkat kedua. Barulah peringkat-peringkat berikutnya diisi dengan kuliner dari Jepang, Thailand, Italia, Korea Selatan dan seterusnya. Hal ini berarti, lidah masyarakat internasional sangat menyenangi masakan-masakan dari Indonesia, khususnya Sumatera Barat.
Dan tentunya bukan hanya Rendang saja yang menjadi masakan andalan Sumatera Barat. Kita punya segudang menu kuliner yang dapat membuat orang tergila-gila karena rasanya. Ada Dendeng Balado yang dihiasi dengan irisan cabe merah. Enak dinikmati baik basah maupun kering. Ada pul Gulai Tunjang yang kenyal yang disiram dengan kuah hangat. Gulai Kapalo Ikan yang bagi penikmatnya, kepala ikannya harus dihabiskan sampai ke tetes gulai penghabisan. Samba Lado, yang saking enaknya juga pernah dibuatkan lagu dangdut. Dan masih banyak lagi pilihan makanan yang lainnya. Kata orang Jakarta, kalau ke Rumah Makan Padang tidak perlu menunggu lapar. Karena makanannya enak-enak, sedang kenyangpun jika disuguhi makanan Padang harus tetap makan.
Di kawasan Indonesia sendiri, masakan Sumatera Barat dapat diterima oleh lidah suku dan etnis apapun. Buktinya di setiap sudut Nusantara ini selalu ada Nasi Padang, dan pengunjungnya selalu ramai. Hal ini menunjukan betapa pandai dan ahli masyarakat Sumatera Barat dalam mengolah bahan makanan menjadi kuliner-kuliner bermutu. Namun sayang, karena kita memiliki makanan yang enak-enak, biasanya kalau orang Sumatera Barat berkunjung ke daerah lain agak kesulitan dalam mencari makanan. Terbiasa makan yang gurih dan pedas, makanan daerah lain terasa hambar.
Jika kita baca sejarah, awalnya bangsa Eropa rela berlayar berpuluh ribu mil ke Nusantara karena mencari rempah-rempah. Mereka butuh makanan yang spicy (pedas), karena masakan Eropa saat itu hambar-hambar saja. Oleh karena itu, sebenarnya ada peluang bagi kuliner Sumatera Barat, terutama Nasi Padang dengan puluhan menu andalan untuk menembus pasar Eropa.
Jika selama ini kita akrab dengan franchise restoran internasional seperti KFC, McDonald, atau Pizza Hut. Kita juga ingin memiliki satu franchise rumah makan Nasi Padang yang mampu berkembang dan buka cabang di berbagai negara di dunia.
Enak Tapi Tidak Standar
Salah satu ciri khas dari masakan Sumatera Barat adalah setiap daerah memiliki cita rasa tersendiri. Makan Rendang di Bukittinggi warnanya hitam dan kadang-kadang ada tambahan kentang kecil-kecil. Tapi kalau di Pariaman rendangnya agak berwarna kecokelatan. Di Padang Rendang juga memiliki ciri khasnya tersendiri. Jangankan beda daerah, beda rumah makanpun masakannya akan berbeda.
Jika hal tersebut dipandang sebagai kekayaan kuliner Sumatera Barat, maka hal tersebut benar sekali. Namun jika dilihat dari sudut pandang selera internasional, maka perlu adanya standar rasa masakan Padang. Meskipun rasa Rendang berbeda-beda di setiap daerah, namun untuk pasar internasional, ada satu rasa Rendang yang standar. Begitu pula dengan menu makanan lainnya.
Mengapa diperlukan standarisasi? Karena inilah yang menjadi nilai jual masakan yang dijual secara internasional. Seperti KFC, rasa ayam goreng yang kita makan di cabang Bukittinggi tidak akan jauh berbeda jika kita makan di Kuala Lumpur, Istanbul, Tokyo, New York dan sebagainya. Sehingga orang yang suka dengan resep tersebut, dimanapun ia bertemu dengan KFC, ia akan langsung masuk saja dan makan. Rasanya dijamin paling tidak mirip-mirip.
Coba kita kembalikan ke Audun yang menciptakan lagu Nasi Padang. Kemungkinan ketika di Indonesia ia suka dengan resep Nasi Padang di suatu restoran. Jika ia ingin mencoba kembali Nasi Padang di daerah lain, bisa jadi ia kecewa. Karena citarasa yang ia dapatkan berbeda dengan yang pertama kali ia ingat. Oleh karena itu, untuk pasar internasional diperlukan rasa yang standar. Kekayaan resep yang berbagai ragam, dapat dipertahankan untuk pasar lokal atau nasional saja. Oleh karena itu dibutuhkan standarisasi rasa, sehingga kita dapat menangkap peluang pasar internasional.
Menangkap Peluang Kuliner Internasional
Kelezatan masakan Sumatera Barat sudah terkenal dimana-mana. Yang mengakui hal tersebut bukan masyarakat Sumatera Barat saja, tapi juga masyarakat Indonesia dan internasional. Maka ini sebenarnya peluang bagi kita.
Jaringan rumah makan Padang yang berskala internasional hingga saat ini rasanya belum ada. Dan untuk merealisasikannya tentu bukan hal yang mudah. Jika mengandalkan wirausaha pemilik rumah makan padang, rasanya masih sulit. Karena di setiap peluang tentunya ada tantangan dan resiko yang belum pasti.
Oleh karena itu, saya mengusulkan pemerintah daerah lah yang menginisiasi lahirnya jaringan Rumah Makan Padang Internasional ini. Caranya dengan merangkul berbagai pihak sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing. Para pemilik rumah makan perlu diajak untuk memberikan resep salah satu makanan andalannya. Sehingga masing-masing menu memiliki resep yang terbaik. Masing-masing resep akan diberikan imbalan berupa royalti penjualan.
Untuk strategi pemasaran dan operasional, bisa diajak dari kalangan praktisi bisnis dan akademisi di perguruan tinggi yang merupakan orang Minang. Sehingga lahir ide-ide bagaimana settingan rumah makan, cara promosi, dan lain sebagainya. Pemerintah daerah juga dapat mengandalan diaspora Minangkabau yang sudah tersebar di penjuru dunia. Untuk survey lokasi, pengurusan ijin, uji coba dan urusan-urusan lain.
Semoga saja suatu saat nanti, ke negara manapun kita pergi, selalu bertemu dengan franchise resmi Rumah Makan Padang. Ibaratkan K-Pop dari Korea yang mampu menguasai dunia dengan seni drama dan lagu pop nya, kita kuasai dunia dengan Nasi Padang. (*)
OKKI TRINANDA MIAZ
(Dosen Fakultas Ekonomi UNP)
http://ift.tt/2dO4ac2