Madhang, Go-Food, dan Semarak Bisnis Kuliner Online - tirto.id (Siaran Pers) (Blog)

tirto.id - Dalam Bahasa Jawa, madhang berarti makan. Kata itu yang dipakai oleh PT Madhang Sak Indonesia untuk nama aplikasi yang baru diluncurkan 10 Desember 2017 silam. Madhang Sak Indonesia adalah perusahaan rintisan asal Semarang. Mereka menggandeng Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo untuk ikut menggarap aplikasi itu.

Dalam situs mereka, disebut bahwa Madhang bertujuan untuk "mencari makanan yang sangat spesial yang berasal dari setiap keluarga di Indonesia." Dengan kata lain, aplikasi ini bertujuan untuk menghubungkan antara pembeli dan penjual —dalam hal ini adalah para keluarga yang disebut punya resep rahasia turun temurun.

Aplikasi yang bisa diunduh di Google Play maupun App Store ini ternyata masih bentuk beta. Tampak sekali banyak kekurangan di sana-sini. Misalkan, aplikasi ini sering terhenti sendiri. Begitu juga soal loading yang masih teramat lama. Dari review para pengguna, aplikasi yang sudah diunduh lebih dari 1.000 kali ini juga mendapat banyak kritik. Mulai dari server error, tidak bisa unggah foto, hingga pencarian yang tidak ditemukan.

Secara konsep, memang tim Madhang Sak Indonesia harus lebih tajam. Apakah aplikasi ini melayani pengantaran makanan? Atau katering? Ataukah review makanan? Atau penggabungan dari semuanya? Perkara teknis juga jelas masih perlu banyak perbaikan.

Tapi tak bisa dipungkiri, dunia kuliner online —baik situs maupun aplikasi— memang sedang meriah. Di Indonesia, ada banyak sekali aplikasi berbasis kuliner. Konsepnya berbeda-beda. Mulai dari kumpulan resep, pencarian dan review restoran, hingga pelayanan katering. Perusahaan yang bermain di sektor ini tidak hanya berasal dari Indonesia. Karena pasar yang meriah itu, persaingan yang dihadapi oleh Madhang memang akan amat keras nun ketat. Tumpulnya konsep hanya akan memperpendek umur Madhang.

Pasar Meriah dan Berdesakan

Pilihan Madhang Sak Indonesia sebenarnya tidak salah. Perusahaan rintisan berbasis kuliner di Indonesia memang jadi primadona. Badan Ekonomi Kreatif Indonesia yang bekerja sama dengan Foodlab Indonesia dan Creativa Success Indonesia membuat situs Food Startup Indonesia, yang bertujuan mencari perusahaan rintisan kuliner dengan konsep apik.

"FoodStartUp Indonesia adalah program unggulan yang akan membentuk dan mendukung ekosistem subsektor kuliner," ujar Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf.

Dalam program itu, ada 115 perusahaan rintisan kuliner yang mendaftar. Produk yang ditawarkan beragam, merentang dari jamur krispi, gorengan, cireng, hingga donat dan pizza.

infografik lapar tinggal minta antar

Juara pertama ajang ini adalah Matchamu, yang menjual teh hijau. Juara kedua adalah Ladang Lima yang menjual berbagai makanan sehat berbasis singkong. Sedangkan di tempat ketiga ada Chillibags, perusahaan asal Bogor yang menjual berbagai jenis sambal.

Kebanyakan produk-produk itu menjual via online. Baik dari situs mereka sendiri, maupun dari situs belanja online. Tapi kehadiran ponsel pintar dan aplikasi melahirkan babak baru dalam dunia kuliner. Aplikasi kuliner menjadi primadona baru.

Salah satu lini bisnis kuliner yang mengalami perubahan besar adalah layanan pengantaran makanan. Dalam "The Changing Market for Food Delivery" yang dirilis oleh lembaga konsultan pemasaran McKinsey, dijelaskan bahwa ada dua jenis layanan pengantaran makanan online.

Baca juga: Perang di Industri Kurir Makanan

Pertama adalah tipe aggregator. Ia disebut sebagai bentuk online dari layanan pengantaran makanan tradisional. Yang ditawarkan adalah akses ke banyak restoran dalam satu aplikasi. Dari sana, pengguna bisa menengok harga, membaca review, dan memesan makanan. Yang mengantarkan adalah pihak restoran, walau ada beberapa perusahaan jenis aggregator yang punya sedikit armada logistik.

McKinsey menyebut ada empat nama besar di sektor ini. Yakni Delivery Hero (Jerman), Foodpanda (Jerman), Grubhub (Amerika Serikat), dan Just Eat (Denmark). Dengan jangkauan global, banyak investor yang tertarik menanamkan modal pada perusahaan-perusahaan itu. Pada 2015, misalkan, Delivery Hero dan Foodpanda mendapat suntikan dana €100 juta.

Baca juga: Belajar dari Kegagalan Foodpanda di Indonesia

Jenis kedua adalah apa yang disebut sebagai "model pengantaran baru". Perbedaan terbesar adalah, perusahaan jenis ini juga menyediakan logistik pengantaran. Ini membentuk pasar baru, yakni membuka lini pengantaran bagi restoran yang tak punya divisi pengantaran makanan. Salah satu pemain lawas di area ini adalah Deliveroo, perusahaan asal Inggris yang kini sudah beroperasi di 84 negara.

Di Indonesia, Go-Jek yang menyediakan layanan Go-Food termasuk dalam kurir makanan era baru. Mereka menyediakan logistik pengantaran yang berjumlah amat masif, sekarang mencapai sekitar 250 ribu pengemudi yang tersebar di 50 kota. Mereka juga didukung dengan lebih dari 100 ribu restoran dan tempat makan yang terdaftar sebagai penjual.

Baca juga: Adu Kuat Go-Food Melawan Foodpanda

Dalam industri pengantaran makanan di Indonesia, Go-Food memang seperti tak tertandingi. Bahkan, kehadiran Go-Food menggusur perusahaan pengantaran makanan online yang sudah lebih dulu ada di Indonesia, yakni Foodpanda. Padahal ia bukan perusahaan rintisan kecil, sudah hadir di 500 kota di seluruh dunia.

Pasar pengantaran makanan via online ini memang menggiurkan angkanya. McKinsey menyebut bahwa pada 2025, bisnis pengantaran makanan online ini bisa mencapai angka €20 miliar.

Tapi bisnis kuliner online tidak hanya terbatas pada pengantaran makanan. Bisa juga ke review makanan, pencarian restoran, hingga bisnis katering. Untuk aplikasi pencarian dan review restoran, salah satu yang paling populer adalah Zomato.

Aplikasi ini berasal dari India, didirikan oleh Deepinder Goyal dan Pankaj Chaddah. Saat ini, Zomato sudah beroperasi di 23 negara. Di Indonesia, cakupan layanannya masih terbatas di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bali. Tapi sudah ada sekitar 30 ribu restoran di kawasan itu yang terdaftar dalam aplikasi ini.

Aplikasi lokal yang bermain di area pencarian restoran adalah Makan di Mana. Aplikasi ini besutan Detik Food, dan sudah diunduh lebih dari 100 ribu kali. Dari Surabaya, ada pula aplikasi bernama Foodsessive, yang berisi nama-nama tempat makan di Surabaya.

Sedangkan untuk bisnis katering, kita bisa menyebut Kulina. Jika merujuk pada situsnya, sudah ada 18 ribu lebih pelanggannya. Cakupan areanya memang masih terbatas di Jakarta. Namun melihat grafik pertumbuhan pelanggannya, jelas Kulina akan terus berkembang lebih besar lagi, dan sangat mungkin melebarkan sayap ke kota lain. Saingan Kulina adalah Berrykitchen, yang juga punya konsep serupa namun juga merilis aplikasi.

Ke depan, bisnis kuliner online masih akan terus berkembang. Memang, secara persentase angka, pemesanan makanan via online masih kalah jauh ketimbang bisnis kuliner konservatif. Situs Techcrunch menyebut bisnis pengantaran makanan mencapai angka $70 miliar, dan hanya $9 miliar yang berada di ranah online.

Tapi potensi bisnis pemesanan makanan ini amat besar. Salah satu indikatornya bisa ditengok dari pendanaan yang terus meningkat. Pada 2012, jumlah pendanaan terhadap perusahaan rintisan pemesanan makanan online tberkisar pada USD25 juta. Namun pada 2014 jumlahnya melonjak menjadi $600 juta. Pada 2015, diperkirakan pendanaannya kembali naik drastis menjadi $1,2 miliar.

Melihat hal itu, maka wajar belaka kalau ke depan kita akan melihat riuhnya bisnis pemesanan dan pengantaran makanan online. Ratusan perusahaan rintisan akan muncul, dan sudah bisa dipastikan, akan banyak pula yang berguguran.

Baca juga artikel terkait MADHANGID atau tulisan menarik lainnya Nuran Wibisono

(tirto.id - nrn/nqm)



http://ift.tt/2o40xq6

Subscribe to receive free email updates: